Tuesday, March 1, 2011

Kisah Nyata Korban HIV

Malapetaka kini nyata bagi Dewi (bukan nama sebenarnya, Red), wanita berusia 33 tahun. Setelah sang suami meninggal dunia akhir Agustus 2008 lalu, ibu muda ini harus berjuang hidup bersama dua anaknya yang masih balita melawan virus ganas mematikan yang belum ada obatnya: HIV/AIDS.

"Suami menularkan HIV untuk saya dan dua anak. Tuhan masih sayang sama saya. Sebab, anak saya yang satu lagi sehat bugar," ujar Dewi dalam perbincangan dengan SP dan Majalah Suara Bekasi di sebuah rumah di Kranji, Bekasi, baru-baru ini.

Wajah Dewi tiba-tiba memucat saat berkisah soal Rommy (bukan nama sebenarnya, Red), sang suami yang meninggal karena AIDS di RSUD Bekasi. Tulang punggung keluarga itu harus meninggalkan Dewi dan tiga anak yang masih kecil.

Saat Rommy (35) pergi, Dewi yang notabene hanya ibu rumah tangga harus mengasuh Un (4) putra pertamanya, juga IK dan ID, dua putri kembarnya yang baru berusia 2 tahun. Selama ini mereka hidup dari uang transportasi Rommy yang bekerja sebagai pemusik di sebuah gereja di Bekasi.

Kepedihan yang dia rasakan bukan hanya kematian suaminya dan beratnya mengasuh tiga anak, tetapi petaka yang harus dia tanggung seumur hidup bersama dua anaknya yang masih balita. Vonis sebagai penderita HIV/AIDS buat dia dan dua anaknya bagaikan vonis mati.

Saat menikah pada 2003, Dewi belum mengetahui suaminya mengidap HIV. Dia hanya tahu, Rommy adalah pemakai narkoba lewat jarum suntik. Diakui, sang suami sudah terjerat "pergaulan hitam" di sebuah perumahan di Kranji. Narkoba menjadi kawan sehari-hari bagi Rommy dan belasan pemuda di situ. Narkoba sudah menggurita dan membelit suaminya. Setelah menikah, Rommy mengkonsumsi narkoba secara sembunyi-sembunyi.

"Saya mencintainya, kami tidak tahu bahaya dari penggunaan jarum suntik berganti-gantian itu," kenang Dewi.

Belasan rekan satu angkatan suaminya satu per satu meninggal dunia. Tidak ada kecurigaan akan serangan virus mematikan. Kabar yang selalu beredar, mereka tewas karena OD (kelebihan dosis), sebagian karena TBC.

Setahun kemudian, Dewi melahirkan putra pertama. Anak mungil dan lucu itu lahir sehat. Namun, sembilan bulan kemudian, mulai sakit-sakitan. Dokter mendiagnosis, bayi mereka terkena flek. Tidak ada kecurigaan dia mengidap HIV. Obat dari dokter cukup manjur, kesehatan tubuhnya membaik. Tetapi, beberapa bulan kemudian kondisi Un kembali drop.

Kondisi Rommy semakin merosot. Sempat muncul kecurigaan ada sesuatu yang tidak beres. Dia memang sempat menjalani tes darah, tapi hasilnya disembunyikan. Padahal, ketika itu, Rommy sudah diketahui positif HIV.

"Saya sempat mendesak agar dia jujur, tetapi dijawab dengan amarah," ujarnya.

Akhir 2006, Dewi melahirkan anak kembar, keduanya perempuan. Ternyata, satu anaknya lahir dalam kondisi mengenaskan. Badannya kuning, dia terus buang air berupa cairan. Di mulut anaknya muncul jamur kandiasis yang jika dikorek berdarah. Penderitaan tidak berhenti. Seluruh biaya dari sejumlah sanak saudara untuk perawatan Dewi dan anaknya di RS ternyata dibawa kabur Rommy.

Tidak hanya itu, sejumlah perhiasan keponakan juga dirampas sang suami untuk membeli narkoba. Selama 1,5 bulan, Rommy menghilang. Mukjizat Tuhan bersama Dewi, sang anak pulih meskipun badannya terus menyurut.

Tidak hanya itu, kabar gembira diterima Dewi, suaminya kembali, tetapi dengan kondisi fisik lemah. Rommy sudah makin kritis dan harus dirawat di RSUD Bekasi selama beberapa bulan. Akhirnya, Rommy meninggal dunia dengan vonis karena AIDS.

Kematian Rommy dan vonis AIDS itu membuat Dewi bagai tak ada asa. Dia terus memikirkan kondisi anak-anaknya, jangan-jangan mereka sudah tertular. Keputusan berat harus dia tempuh, memeriksa darahnya dan anak-anaknya. "Bagai disambar petir, dokter menyatakan saya, anak pertama saya, dan satu anak kembar saya positif HIV," ratap Dewi sedih.

Diakui, hasil tes darah itu memukulnya. Tak ada harapan lagi untuk hidup.

"Ketika itu, saya sempat ingin bunuh diri. Linglung, kenapa Tuhan jahat sekali sama saya," kenang Dewi. Berbulan-bulan dia tidak bisa memaafkan suaminya yang membawa seluruh keluarga dalam petaka.

"Tapi saya harus menjalani hidup, masih banyak yang bisa saya lakukan demi orang lain yang mengalami hal seperti saya," tambah Dewi yang mengaku sudah ditinggal saudara-saudaranya. Dia diasingkan. Bahkan, untuk bersalaman saja kerabatnya enggan.

Terus Berjuang

Saat ini, Dewi dan anaknya mesti mengonsumsi obat seumur hidup agar HIV tidak "bergejolak" dan memicu munculnya AIDS. "Setiap hari empat butir. Dua butir pagi dan dua butir malam. Begitu juga anak-anak, mereka harus minum obat pagi dan malam. Tidak boleh telat," katanya. Seluruh obat itu diperoleh gratis, tiap bulan dari RSCM.

"Meskipun gratis, saya tetap harus mengeluarkan uang sekitar Rp 70.000 tiap bulan untuk jasa dokter dan administrasi," keluhnya.

Pihak rumah sakit dan beberapa sukarelawan HIV/AIDS yang membimbingnya menyebutkan, obat-obatan itu bukan untuk menyembuhkan virus yang mendekam di tubuh Dewi dan anak-anaknya. Obat itu hanya menekan virus agar tidak bergejolak dan memicu munculnya AIDS. "Virus HIV itu masih bersembunyi di darah saya. Kalau obat itu telat saya minum, virus akan bangkit. Untuk menekan kembali serangan virus harus dengan obat dengan kadar lebih tinggi. Harganya mahal karena belum disubsidi pemerintah," tambahnya.

Ibu muda ini terus berjuang, demi masa depan buah hatinya itu. Dewi kini menjadi relawan sebuah yayasan penanggulangan HIV/AIDS. Dana yang dia peroleh tak seberapa, tapi cukup untuk menghidupi tiga anaknya.


*Sumber : Suara Pembaruan.

Artikel Terkait

2 comments:

  1. Has anyone found a good free std dating website for people like me with herpes or HIV? Let me know please... Carolyn D.

    ReplyDelete

Terimakasih telah memberikan komentar di web ini. Semoga membantu dan bermanfaat.