Profile Penulis

Dalam sebuah perjalan setiap orang pasti mempunya cerita suka dan duka. kami sedikit menyampaikan sekilas perjalanan hidup kami agar dapat menjadi motovasi peserta didik dan orang lain. Sebuah kisah nyata yang benar benar terjadi dan kami alami.

Sholat Berjamaah

Selain menjarkan tentang materi pendidikan seorang guru juga di tuntuk untuk mengajarkan kebiasaan yang baik tentang keagamaan. Dengan membiasakan anak sholat berjamaah di masjid akan membentuk karakter anak yang baik.

Pembelajaran Berbasis Tehnologi dan Informasi

Perkembangan tekhnologi di dunia ini semakin cepat. Seorang pendidikan di wajibkan mengikutu perkembangan tekhnologi pendidikan khusus nya dalam pengajaran.Manfaat menggunakan tehnologi pendidikan sangat banyak sekali

Pembelajaran Pendekatan Saintifik

Untuk meningkatkan prestasi siswa siswi banyak sekali pendekatan dan metode pembelajaran yang di gunakan. Salah satu pendekatan yang kami gunakan yaitu pendekatan Saintifik. Pembelajaran pendekatan Saintifik yaitu kegiatan yang dilakukan melalui proses mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

Pendampingan Bakat dan Minat

Dalam sekolah/ pendidikan walau status kita bukan seorang guru olah raga kita boleh membantu guru olah raga untuk meningkatkan kelebihan kepada siswa kita. salah satunya asalah dengan memberikan tehnik tehnik bermain sepak bola. dalam memberikan tehnik tentunya kita harus berkoordinasi dengan guru sepak bola untuk bisa saling berkolaborasi.

Friday, April 15, 2022

Dasar Dasar Pendidikan




Dasar Dasar Pendidikan

         1.      Arti dan Masksud Pendidikan

Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersamasama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.

Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas.

Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syaratsyarat dan alat-alat dalam soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama.

Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

 

         2.      Hanya Tuntunan dalam Hidup

Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatankekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.

Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodratiradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.

 

         3.      Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?

Meskpun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orangorang jahat.

Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.

Menurut ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu.

Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuhkembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.

 
         4.      Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan

Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan. Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.

Kedua, ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruhpengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruhpengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan. 
Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut aliran ini, pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.

 

         5.      Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah

Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.

Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa.

Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri.

Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba  datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan sendiri.

 

         6.      Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti

Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannnya yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.

Janganlah pendidik itu berputus asa kerana menganggap tabiattabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan), maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis tadi.

Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika.

Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya.

Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiranperasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga.

Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan dalam arti neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa.

 

         7.      Jenis-Jenis Budi Pekerti

Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi, sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama. Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam atau jenis (typen), sehingga orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara umum.

Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis tesrbut berdasarkan pada sifat angan-angan, sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis). kemudian, tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang.

Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).

Selain dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang jenis-jenis budi pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani seseorang dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budipekerti orang dengan melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen (Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinnya sendiri, atau yang memandang ke arah luar, dan demikianlah seterusnya.

Dalam soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat pengaruh dari yang menurunkan

(eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendektingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupakan juga bahwa seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.

 

         8.      Naluri Pendidikan

Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan dijelaskan pada uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam pendidikan yang teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct disebabkan pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de sort).

Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).

 

         9.      Syarat-Syarat Pengetahuan

Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen), yang terbagi menjajdi 5 jenis, yaitu:

1.       Ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie);

Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie); 

1.       Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral);

2.       Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika);

3.       Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar cara-cara Pendidikan)

Untuk memahami perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan tersebut, kita dapat mengadakan perbandingan antara keadaan seorang ‘juru didik’ dengan tukang pengukir kayu. Seorang pengukir kayu tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakikat atau keadaan kayu. Maksudnya, ia harus tahu ilmu kayu (lihat no.1 dan no.2 diatas). Pengukir wajib mengetahui jenis kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukiran yang halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena pendidikan itu ‘mengukir’ manusia, sementara manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu kemanusiaan itu ada dua macam, yaitu Ilmu Jiwa (psychologie) dan Ilmu Hidup Jasmani

(fysionlogie), seperti tersebut pada no.1 dan no.2.

Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiranukiran) yang baik, harus mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang pendidik sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (etika dan estetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no.3 dan no.4)

Akhirnya, seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran yang bagus kalau ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis ukiran dari pengukir-pengukir lainya, baik zaman sekarang maupun zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik.

Dengan mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak perlu memberikan keterangan sendiri secara luas, karena setiap pembaca dapat membuat keterangan sendiri yang panjang, lebar dan terang.

 

10. Peralatan Pendidikan

Yang dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni caracara mendidik. Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam banyaknya, akan tetapi pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti berikut:

1.       Memberi contoh (voorbeld);

2.       Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)

3.       Pengajaran (wulang-wuruk, leering)

4.       Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);

5.       Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);

6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).



Cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik dari pihak vrije opvoeding (Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat nomor 4 (perintah, paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan salah satu cara saja dan pada umumnya disesuaikan dengan keadaankeadaan tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur anak-anak didik.

 

11. Hubungan dengan Umur

Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa

ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode).

Apabila alat-alat atau cara-cara Pendidikan di atas dihubungkan dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara sesuai dengan umur tersebut:

a)    Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2;

b)    Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;

c)  Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6



. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937 

Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak

 


Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak

Permainan Anak Adalah Pendidikan

Barangkali pembaca sudah pernah mendengar, bahwa dalam Taman

Siswa diadakan kelompok Taman Anak, yang di HIS sama dengan Voorklas, Kelas 1, II dan III. Sementara, kelompok yang kedua dinamakan Lagere School (Taman Muda), yaitu mulai kelas 4 sampai 7 jika menurut aturan HIS.

Kedua kelompok tersebut mempunyai ketua sendiri-sendiri,. Metode pengajaran yang digunakan pada keduanya juga berdea. Umpanyanya, pengajar di Taman Anak semunya adlaah guru wanita (sontrang/mentrik). Sebab, rasa batin anak kecil (kecintaan, tasa takut, bangga, manja) masih tertuju kepada Ibunya sehingga anak-anak tersebut masih sehati dengan pendidik wanita. Adapun pada HIS kelas yang tinggi, anak-anak kebanyakan sudah berlagak seperti laki-laki dewasa dan suka bergaul dengan bapaknya. Oleh karena itu, mereka harus dididik oleh guru laki-laki.

Selain itu, mata pelajaran di Taman Anak tersebut dikonsentrasikan pada pelajaran Latihan panca indra. Sebab, mendidik anak kecil itu bukan atau belum memberikan pengetahuan, akan tetapi baru berusaha akan menyempurnakan rasa pikiran. Segala tenaga dan tingkah laku lahir yang mereka miliki sebenarnya besar pengaruhnya bagi kehidupan batin mereka dan demikian pula sebaliknya. Jalan perantaraan Pendidikan lahir ke dalam batinnya tesebut adlaah melalui paca indra. Maka dari tiu, Latihan paca indra adalah pekerjaan lahir untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu dan lain-lain)

Di Eropa, metode pengajaran seperti itu juga diakui. Orang yang pertama mendidik anak dnegna cara demikian ialah sang pujangga pendidik, Dr. Frobel. Selain itu, juga ada sang pujangg wanita, yakni Dr. Maria Montessori di kota Roma (Italia). Metode Frobel dan Montessori in mempunyai perbedaan yang cukup besar, tetapi ini yang dimiliki sebenarnya sama, yaitu mencari jalan lahir untuk mendidik batin.

Mari kita Kembali ke pembahasan tentang ‘Taman Anak’ di Yogyakarta. Dalam proses pembelajarannya, ternyata tidak hanya mengkonsentrasikan pada pelajaran (latihan) panca indra saja, tetapi permainan anak juga dimasukkan pada pembelajaran di sekolah sebagai kultur. Kita tidak dapat membandingkan metode Frobel, Montessori dan Taman Siswa tentang pengaruh tenaga lahir pada batin seperti berikut:

a.      Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra dan semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan.

b.      Frobel juga mendjaikan panca indra sebagai konsentrasi pembelajarannya, tetapi yang diutamakan adlah permainan anakanak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indra juga diwujudkan mengjadi barang-barang yang menyenangkan anak. Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah.

c.      Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan tetapi pelajaran paca indra dan permainan aka itu tidak dipisah, yaitu dianggap satu. Sebab, salam Taman Siswa terdapat kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak.

 

Beberapa contoh dapat disebutkan, misalnya permainan anak Jawa seperti: sumbar, gateng, dan unclang ang mendidik anak agar saksama (titi paritis), cekatan, menjernihkan penglihatan dan lain-lain. Kemudian juga 2       permainan seperti: dakon, cublak-cubak suweng dan kubuk yang mendidik anak tentang pengertian perhitungan dan perkiraan (taksiran). selain itu, permainan gobag, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan si, jamuran, jelungan, dan lain-lain.nya yang bersifat olahraga yang tentunya akan mendidik anak dalam hal: kekuatan dan kesehatan badan, kecekatan dan keberanian, ketajaman dalam penglihatan dan lain-lain ada juga permaianan seperti: mengutas bunga (ngronce), menyulam daun pisang atau janur, atau membuat tikar, dan pekerjaan anak lainna yang dapat menjadikan mereka memiliki sikanp tertib dan teratur.

Melihat kondisi anak kita sendiri seperti yang dtelah dijelaskan diatas, sudah barang tentu bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki sejenis metode Montessori dan metode Froble yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan Evolusi). Bisa juga dinamakan metode Kaki Among Nini Among, yaitu metode Among Siswa.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa kita tidak perlu mengadakan barang tiruan jika memang kitas dudah mempunyai barang tersebtu sendiri. Sebagab, barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang munri seperti kepunyaan sendiri. Kain cap meskipun indah rupanya, tetapi derajatnya dibawah kain batik. Yang boleh kita pakai sebagai alat penghidupan yaitu barang-barang yang tidak kita miliki. Namun, waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu. Maksdunya, disesuaikan dengan rasa kita dan keadaan hidup kita. Inilah yang dinamakan “menasionalisasikan”.

Penjelasan singkat tentang permainan anak sebagai alat pendidikan dan juga tentang asas-asasnya ‘Taman Anak’ dala Taman Siswa yang disesuaikan dengan metode Montessori dan Frobel tersebut bertujuan agar kaum pendidik dan ibu-ibu dapat mengadakan metode sendiri yang selaras dengan kehidupan bangsa kita 

Budi Pekerti Menurut Ki Hajar Dewanatar KHD

 


Budi Pekerti Menurut Ki Hajar Dewanatar KHD

Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Sedih merupakan perpaduan harmonis antara cipta dan karsa demikian pula Bahagia.

Lebih lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak untuk melatih kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga juga menjadi ruang untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding dengan pusat pendidikan lainnya.

Alam keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan teladan, tuntunan, pengajaran dari orang tua. Keluarga juga dapat menjadi tempat untuk berinteraksi sosial antara kakak dan adik sehingga kemandirian dapat tercipta karena anak-anak saling belajar antar satu dengan yang lain dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, Peran orang tua sebagai guru, penuntun dan pemberi teladan menjadi sangat penting dalam pertumbuhan karakter baik anak.

Kodrat Alam dan Kodrat Zaman Menurut Ki Hajar Dewantara KHD

 


Kodrat Alam dan Kodrat Zaman

KHD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”

KHD mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat zaman sebagai berikut

Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)

KHD hendak mengingatkan pendidik bahwa pendidikan anak sejatinya melihat kodrat diri anak dengan selalu berhubungan dengan kodrat zaman. Bila melihat dari kodrat zaman saat ini, pendidikan global menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad 21 dengan melihat kodrat anak Indonesia sesungguhnya. KHD mengingatkan juga bahwa pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal budaya Indonesia. Oleh sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD adalah muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.


Asas Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

 



Asas Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran dalam memahami arti dan tujuan Pendidikan. Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut KHD (2009),  pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya”.

Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.

Dasar-Dasar Pendidikan Pemikiran Ki Hajar Dewantara


 

Dasar-Dasar Pendidikan

Ki Hadjar menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: "menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat  menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan  tumbuhnya kekuatan kodrat anak”

Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani.  Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.

Dalam proses ‘menuntun’ anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.

KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar.

Pemikiran Kihajar Dewanatara

Bagaimana sih pemikiran kihajar dewanatara itu ? yuk kita bahas




Ki Hajar Dewantoro (KHD) sejak kecil yaitu filosofi Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tutwuri Handayani. Dulu saya saya pahamnya cuma yang Tut Wuri Handayani. Intinya jadi murid harus nurut sama gurunya. Akhir akhir ini saya mencerna cerna sendiri. Ternyata ketika kita jadi guru itu diibaratkan seperti Ing Ngarso Sung Tulodho. Ketika di depan jadi pemimpin, kita harus bisa jadi teladan bagi siswa dan bagi guru yang lainnya. 

Kemudian ketika kita di tengah tengah siswa maupun komunitas guru, maka kita harus bisa banyak karya, harus bisa kerjasama, harus bisa saling memotivasi.

Akhir akhir ini saya mendengar pemikiran KHD muncul kembali. Terutama dalam masalah merdeka belajar, dan pengajaran yang berpusat pada siswa. 

Untuk merdeka belajar intinya bagaimana membuat anak sejahtera dalam belajar. Bisa maksimal berkarya, kritis, dan kreatif, tanpa ada tekanan. Percaya diri dalam menyampaikan ide idenya. Kemudian mendapatkan guru yabg selalu menghargai karya karyanya. 

Sedangkan yang berpusat pada siswa berarti guru harus menskenario ulang. Jangan sampai guru dominan berbicara dalam pembelajaran. Guru harus banyak melibatkan siswa bahkan banyak memberi kepercayaan pada siswa. Tetapi tetap dengan pembimbingan yang terstruktur. 

Pemikiran KHD ini sangat relevan dengan pembelajaran abad 21 Yang menuntut adanya kolaborasi, komunikasi, kritis, dan kreatif. Jika pendidikan berpusat pada siswa maka 4 hal tersebut akan mudah dimiliki oleh siswa. 

Setiap orang yang memilih dunia Pendidikan menjadi pilihan hidupnya yaitu menjadi guru tentu sangat mengenal nama RM. Soewardi Soerjaningrat atau yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara, sosok inspiratif di dunia Pendidikan Indonesia. Melalui pemikiran beliau yang sangat maju yaitu Pendidikan harus memerdekakan kehidupan manusia. Pendidikan yang harus di sandarkan pada pembentukan jiwa merdeka dan bermafaat bagi masyarakat. Kemerdekaan sebagai syarat dan tujuan membentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa Indonesia agar para murid selalu tegak berdiri membela perjuangan bangsanya, hal ini dikarenakan kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan Pendidikan sehingga sistem pengajaran harus bermanfaat bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa, untuk itu menurut Ki Hajar Dewantara bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat, Pendidikan bukan sebagai pemaksanaan namun harus berdasar pada tertib dan damai, tata tenteram dan kelangsungan batin, cinta tanah air dan nasionalisme menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan kualitas seseorang. Karakter yang kuat dan budi pekerti yang luhur dan buah piker untuk maju adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar Pendidikan dapat meningkatkan kualitas dan memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan yang selaras dengan perkembangan dan kemajuan jaman dengan tanpa meninggalkan jiwa kebangsaan. Perkambangan dunia yang pesat dan cepat serta pergaulan hidup antar bangsa dengan bangsa lainnya tidak dapat terelakkan. Kebudayaan asing yang berasal dari luar semakin mungkin untuk masuk berakulturasi dengan kebudayaan nasional. Oleh karena itu sebagaimana yang disampaikan Ki Hajar Dewantara hendaklah sebagai anak bangsa kita harus memilah dan memilih mana yang baik untuk menambah kualitas dan kemuliaan hidup dan mana budaya asing yang akan merusak identitas dan jiwa rakyat Indonesia dengan selalu mengingat bahwa semua kemajuan di bidang ilmu pengetahuan harus berorientasi pada pembangunan martabat bangsa. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara pada sisi kehidupan psikologinya, bahwa manusia memiliki daya jiwa yaitu adanya cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang hanya menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan perkembangan manusia yang tidak utuh. Bahwa Pendidikan yang menenkankan pada aspek intelektual saja hanya akan menjauhkan murid dari masyarakatnya. Dan ternyata Pendidikan sampai sekarangpun hanya menekankan pada pengembangan daya cipta dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Apabila terus berlanjut maka akan menjadikan manusia yang kurang humanis atau manusiawi.

Pendidikan yang teratur adalah yang bersandar pada perkembangan ilmu pengetahuan atau ilmu pendidikan. Ilmu ini tidak boleh berdiri sendiri, ada saling hubungan dengan pengetahuan lain. Ilmu harus berfungsi sebagai pelengkap sempurnanya mutu pendidikan dan pembangunan karakter kebangsaan yang kuat.

Dalam menyelenggarakan pengajaran dan didikan kepada rakyat, Ki Hajar menganjurkan agar kita tetap memperhatikan ilmu jiwa, ilmu jasmani, ilmu keadaban dan kesopanan (etika dan moral), ilmu estetika dan menerapkan cara-cara pendidikan yang membangun karakter.

Seorang pendidik yang baik, kata Ki Hajar Dewantara, harus tahu bagaimana cara mengajar, memahami karakter peserta didik dan mengerti tujuan pengajaran. Agar dapat mewujudkan hasil didikan yang mempunyai pengetahuan yang mumpuni secara intelektual maupun budi pekerti serta semangat membangun bangsa.

Pendidikan nasional saat ini memiliki segudang persoalan. Mulai dari wajah pendidikan yang berwatak pasar dan menyebabkan hilangnya daya kritis tenaga didik terhadap persoalan bangsanya, hingga pemosisian lembaga pendidikan sebagai sarana menaikkan strata sosial dan ajang mencari ijazah belaka.

Di samping itu, kandungan pendidikan dan pengajaran sekarang ini tidak memuat nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan kini hanya melahirkan sikap individualisme, hedonisme dan hilangnya jiwa merdeka. Hasil pendidikan seperti ini tidak dapat diharapkan membangun kehidupan bangsa dan negara bermartabat.

Nah, di sinilah relevansi pemikiran Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan: mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mungkin diwujudkan dengan pendidikan yang memerdekakan dan membentuk karakter kemanusiaan yang cerdas dan beradab.


Gagasan pendidikan dari KH Dewantoro yang berkaitan dengan pendidikan di Indonesia yang menurut pendapat saya yang masih  relevan  untuk  pendidikan di Indonesia saat ini adalah  TRILOGI Kepemimpinan(Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani) dan TRINGA (Ngreti, Ngrasa, Nglakoni).

Relevansi pemikiran dengan Pendidikan saat ini menggunakan TRILOGI Kepemimpinan adalah  Trilogi kepemimpinan akan melahirkan calon-calon pemimpin bangsa ini yang berkarakter membimbing dengan keteladanan (Ing ngarsa sung tuladha) membina dengan membangun kemauan (Ing madya mangun karsa) memerdekakan untuk berkreativitas dengan tetap memberi kekuatan (Tutwuri Handayani). Jadi pendidik hanya melakukan Tut Wuri Handayani, kecuali masalah-masalah yang dihadapi anak didik tersebut membahayakan dirinya sendiri, baru pendidik mengambil alih tindakan terhadap permasalahan-permasalahan tersebut. Alasan diterapkannya TRINGA adalah sesuai dengan penerapan Kurikulum 2013 yang menekankan pada pandangan afektif, kognitif, dan psikomotor sesuai dengan trilogy ini, yaitu:

Ngreti = memahami dengan akal / pikiran / koqnitif.

Ngrasa = menghayati dengan perasaan / afektif.

Nglakoni = mengamalkan dengan perbuatan / psikomotor Ilmu yang dipelajari akan bermanfaat bila sudah diamalkan (ilmu iku kasiyate kanthi laku).