Monday, October 11, 2010

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA DAN MULTIKULTURALISME

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA


DAN MULTIKULTURALISME




A.Pengantar


Sastra Indonesia mengalami perkembangan pesat. Periode-periode telah dilalaui (dalam makalah ini digunakan istilah periode bukan angkatan, suatu kategori menurut Prof. Rachmat Djoko Pradopo, 1984) dan sastra Indonesia menunjukkan kemajuan yang pesat. Meskipun kebanyakan sastrawan tidakmau mengatakan  amanat karyanya, namun setiap sastrawan pasti memiliki maksud di dalam menciptakan karyanya. Sastrawan selalu berusaha keras kalau perlu dengan bermatiraga untuk mengekspresikan keinginan kalbunya yang luhur, yaitu mencoba untuk membeberkan rahasia dunia yang dengan pernyataan Ranggawarsitas dalam “Serat Kalatidha” adalah:”mesu cipta matiraga medhar warananing gaib”. Sastrawan mempunyai komitmen untuk memahami rahasia dunia yang oleh Pater Dick Hartoko dinyatakan sebagai “tanda-tanda zaman” yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa (awam).


Tanda-tanda zaman itu bias dikatakan berupa malapetaka yang mengancam peradaban, manusia, dan kemanusiaan jika tidak diungkapkan dan kemudian manusia lain yang berwenang menjawabnya kengan kebijakan politik, tindakan, atau pembinaan manusia lainnya. Kita menyadari bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat beraneka ragam yang bhineka (dan sejak tahun 1928 dinyatakan sebagai tunggal ika). Sifat bhineka itu adalah sifat das sein, sedangkan sifat tunggal ika adalah das sollen. Sebagai bangsa yang sangat aneka, kita selalu dalam proses tunggal ika bukan dalam arti monokultur dalam arti lebur menjadi satu, namun dengan perbedaan-perbedaan yang kita miliki itu, kita dapat bersatu padu dengan tetap menghargai dan bertoleransi terhadap perbedaan yang dimiliki. Bangsa Indonesia terdiri atas ribuan pulau, ratusan suku bangsa, perbedaan tingkatan social ekonomi, perbedaan adapt istiadat, perbedaan agama, perbedaan kebiasaan hidup, perbedaan cara berpakaian, perbedaan gaya hidup, perbedaan system kekeluargaan perbedaan upacara-uparacara, dan sebagainya. Juga berbeda dalam jenis kelamin, umur, kekayaan, tingkat kepandaian, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Kalau diadakan pendataan tentang perbedaan yang adadi antara bangsa kita di seluruh tanah air, tentu akan sangat panjang.


Seluruh bangsa pasti tahu bahwa perbedaan di antara bangsa Indonesia cukup besar. Harus ada jembatan yang bersifat psikologis untuk menghubungkan suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain. Di samping bahasa, maka sastra Indonesia merupakan sarana pengikat persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui sastra Indonesia (bersamaan dengan bahasa Indonesia) telah ditanamkan saling pengertian “cross-cultural understanding” antara suku bangsa yang satu dengan yang lain. Sastrawan (disamping kebebasan berkarya) hendaklah memiliki tanggung moral dan social untuk menyuarakan nafas nasionalisme,napas patriotisme guna persatuan dan kesatuan bangsa. Gejolak kea rah tercabik-cabiknya bangsa kea rah perpecahan ini sering kali muncul dan besar kemungkinan kemunculannya justru didukung oleh cendekiawan yang kurang tanggung jawab moral dan soail demi persatuan Indonesia, terlebih di saat Indonesia memasuki masa desentralisasi  yang memungkinkan isu-isu kedaerahan muncul dan Negara kesatuan yang telah diperjuangkan dan dipertahankan dapat terancam oleh gagasan-gagasan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan.


 


B. Multikulturalisme


Istilah multikulturalisme muncul sekitar tahun 1960-an di negara-negara Anglopone  dalam kaitannya dengan migran-migran yang non-Eropah tentang bagaimana pilihan budaya mereka. Yang lebih popular saat ini adalah makna multikulturalisme dalam arti bagaimana Pemerintah atau kekuasaan yang dominant mengakomodasikan kepentingan dan suara race and etnicity yang dipandang minoritas. Akomodasi hak politik bagi golongan kecil yang tidak berdaya dipandang sebagai kebutuhan besar yang terpenting dari seluruh dunia. Corak dan bentuk multikulturalisme di setiap Negara berbeda tergantung dari kebutuhan budaya yang sangat majemuk itu (Tariq Modood,2009:1).


Sementara itu, Ainul Yaqin (2005) menyatakan bahwa multikulturalisme merupakan suatu gerakan biologis untuk memahami segenap perbedaan yang ada pada diri setiap manusia serta bagaimana perbedaan itu dapat diterima sebagai hal yang alamiah dan tidak menjadi alas an bagi tindakan diskriminatif dengan sikap hidup yang cenderung dikuasai rasa irihati, dengki, dan buruk sangka. Ia menyatakan bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam pembentukan multikulturalisme dalam diri setiap anak didik dan pada gilirnnya pada seluruh warga Negara.


Perbedaan-perbedaan yang harus mendapat perhatian untuk tidak menimbulkan sikap dan perilaku yang antipati (tidak senang) adalah perbedaan: gender, klas sosial, bahasa, agama, usia, kemampuan/kecerdasan, etnis (kesukuan), dan kecacatan fisik/mental (difabel) (Ainul: 101 – 253). Dalam pembinaan multikulturalisme disadarkan kepada semua orang bahwa perbedaan yang ada pada setiap manusia itu alamiah dan manusia harus dikterima dihargai, dan dimengerti apa adanya, kelebihan dan kelemahannya dan juga perbedaannya dengan diri kita.


Asyumardi Asra (2007) dengan sangat menarik menyusun buku tentang multikulturalisme dengan judul Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Beliau menyadari tentang kemajemukan bangsa kita dan itu haruskita rawat agar Indonesia tetap tegak dan berdiri. Kita lahir dari kemajemukan yang berikrar untuk bersatu di dalam suatu Negara kesatuan yang perbedaannya masih ada, namun menghargai dan memahami, serta bertoleransi di dalam Bhineka Tunggal Ika. Bahkan disebutkan bahwa kemajemukan adalah sunatullah (2007:1). Kemajemukan juga disebutnya bleesing in disguise.Dipaparkan istilah lain yang sangat erat dengan multikulturalisme yaitu: pluralisme, pluralitas, dan bhinneka (yang sudah ditekadkan untuk tunggal ika). Kemajemukan harus dirawat, dipelihara, diberdayakan, dan difungsionalisasikan baik sudah di masa lalau, masa kini,maupun terus-menerus di masa depan bahkan di masa depan diharapkan Indonesia menjadi Negara bangsa yang lebih baik.


Mengapa jalinan multikulturalisme akhir-akhir ini harus disuarakan lebih lantang?  Menurut Asyumardi, sejak jatuhnya Pak Harto pada 1998 terjadi krisis budaya. Di saat itu, muncullah era reformasi yang diikuti oleh masa yang disebut disintegrasi dengan adanya berbagai macam krisis. Apa yang disebut Asyumardi dengan “jalinan tenunan masyarakat” (fabric of society) tercabik-cabik akibat dari krisis berbagai hal dan terlebih adalah krisis budaya. Eforia kebebasan menyebabkan disintegrasi bidang social politik yang sangat luas. Eforia kebebasan meluas, sehingga muncullah aksi-aksi anrkhis di kalangan masyarakat dan sangat berpengaruh kepada menurunnya etika, moral, kepatuhan kepada hokum, sopan santun pergaulan, keberadaban antar sesame, dan juga merosotnya saling penghargaan antaretnis dan agama berupa konflik yang bersifat berkepanjangan di berbagai daerah, pulau, atau antarpulau (2007:7). Dengan kkrisis budaya tersebut, saling penghargaan, toleransi, pemahaman, dan pengertian budaya dari bangsa yang majemuk ini merosot sekali. Egosentrisme kesukuan dankedaerahan muncul dan membesar, istimewa setelah desentralisasi politik dan pemerintahan.


Proses globalisasi dan penetrasi budaya kapitalisme yang mau tidak mau harus masuk ke Indonesia, sedikit banyak menambah kemelut suramnya kerukunan  dalammasyarakat majemuk. Budaya Barat yang serba instant, hedonistis, kapitalistis, dan konsumerialistis oleh Asyumardi disebut cultural imperialism menggantikan imperialisme lama yang bersifat orientalisme.


Pada Era Orde Baru, kehidupan multikulturalisme tercipta dengan system pemerintahan sentral dan Demokrasi Pancasila yang ketat. Tentulah tidak bijaksana jika kita menoleh ke masa lalu yang juga memiliki cacat fundamental dalam kehidupan majemuk bangsa karena banyaknya manipulasi kekuasaan dan pemaksaan kehendak yang pada gilirannya pasti berakibat pada tumbangnya kekuasaan itu. Di era kini, saat kondisi multikulturalisme menurun, perlu usaha gigih dari berbagai pihak untuk memupuk multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


 


C. Perkembangan Sastra Indonesia


Sejak kelahirannya pada Zaman Balai Pustaka (1920), Sastra Indonesia telah memberikan sumbangan penting  dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Pendewasaan Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Indonesia yang siap diikrarkan pada tahun 1928 sebagai “Satu Bahasa yaitu Bahasa Indonesia”  di samping karena perkembangan bahasa itu sendiri, namun juga karena sumbangan roman-roman dan puisi yang diciptakan oleh sastrawan menyuarakan persatuan dan kesatuan, serta kerinduan akan kemerdekaan Indonesia. Puisi dan prosa fiksi yang diciptakan pengarang sangat kental dengan kerinduan akan persatuan dan kesatuan. Puisi, prosa fiksi, dan drama pada akhirnya memperkenalkan kebudayaan etnis dari budaya Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.


Dalam memperkenalkan budaya,masyarakat, dan adapt istiadat etnis, agama, suku, atau budayanya, sastrawan mengungkapnya dengan penuh kejujuran yang memungkinkan di satu pihak hal-hal yang negative dari etnisnya sendiri disikapi secara objektif, di pihak lain, etnis lainnya berusaha memahami, mengerti, dan menghargai hal yang berbeda dari etnis lain.




  1. 1. Puisi


Nafas kebangsaan dan multikulturalisme  tercermin dalam puisi-puisi sejak Muhammad Yamin sampai dengan Sutardji Calzoum Bachri. Muhammad Yamin seorang nasionalis yang wafat saat masih menjabat Menteri Depernas (pada Era Bung Karno) sangat rindu persatuan Indonesia, sangat rindu kelahiran tanah air Indonesia yang merdeka. Hal itu tercermin dalam puisinya “Bahasa, Bangsa”, “Tanah Airku” “Gita Gembala”. Ia tidak pernah menyebut dirinya orang Sumatra,namun menyebut sebagai orang Indonesia.


Sutan Takdir Alisyahbana berdendang tentang Indonesia melalui gegap gempita laut dalam puisi “Menuju ke Laut”:


………………………………


Gemuruh berderau kami jatuh


terhempas berderai mutiara bercahaya


Gegap gempita suara mengerang


dahsyat bahasa suara mengerang.


Keluh dan gegak silih berganti


Pekik-pekik sambut-menyambut.


 


Kami telah menuju ke laut


tasik yang tenang tiada beriak


diteduhi gunung yang rimbun


dari angina dan topan


Sebab sekali kami terbangun


Dari mimpi yang nikmat.


(Waluyo: 247)


 


 


Meskipun masih muda, Chairil Anwar memahami usia tua orang lain. Ia juga harus dihargai. Semua  orang juga akan menjadi tua. Di saat tua itu, segala piranti dalam kehidupan kita sudah uzur, sudah loyo, sudah rapuh. Karena itu, sesudah tua, setiap orang siap untuk meninggalkan dunia yang fana ini.


DERAI-DERAI CEMARA


Cemara menderai sampai jauh


terasa hari akan jadi malam


ada beberapa dahan merapuh


dipukul angina yang terpendam


 


aku sekarang orangnya bias tahan


sudah beberapa waktu bukan kanak lagi


tapi dulu memang ada suatu bahan


yang bukan dasar perhitungan kini.


 


hidup hanya menunda kekalahan


tambah terasing dari cinta sekolah rendh


dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan


sebelum pada akhirnya kita menyerah.


Chailril Anwar, 1979


 


 


Bagi Rendra, kehidupan orang-orang papa yang tidak memperoleh kesejahteraan hidup yang memadai harus diperhatikan. Orang-orang papa itu, oleh Rendra  disebut orang-orang tercinta, seperti: ibu tua yang ditinggalkan oleh anak-anaknya, perawan tua, wanita-wanita kesepian, para pelacur, perampok Atmo Karpo, wanita yangmenderita akibat difitnah (Sumilah), dan juga nabi yang disiksa oleh warga desanya. Berikut  disampaikan  “Nyanyian Angsa” yang menunjukkan solidaritasnya kepada pelacur yang sekarat tetapi ditolak oleh pejabat agama.


 


NYANYIAN ANGSA


…………………………………..


(Malaikat penjaga firdaus


wajahnya tegas dan dengki


dengan pedang yang bernyala


menuding kepadaku


Maka darahku terus beku


Maria Zaetun namaku


Pelacur yang sengsara


Kurang cantik dan agak tua)


 


…………………………………


Jam empat siang


Seperti siput, Maria Zaetun berjalan


Kerigatnya bercucuran


Rambutnya jadi tipis


Makanya kurus dan hijau


Seperti jeruk yang kering


Lalu jam lima


Ia sampai diluar kota


Jalan tak lagi beraspal


Tapi debu melulu


Ia memandang matahari


Dan pelan berkata:”bedebah”.


Sesudah berjalan satu kilo lagi


Ia tinggalkan jalan raya


Dan berbelok masuk sawah


Berjalan di pematang.


 


…………………………………


Setelah selesai, lelaki itu berkata


“semula kusangka hanya impian


Bahwa lelaki tampan bagai kau


Bakal lewat dalam hidupku”


Lelaki itu tersenyum dengan hormat dan sabar


“Siapakah namamu ?” Maria Zaetun berkata


“Mempelai !” Jawabnya


“Lihatlah engkau melucu !” kata Maria Zaetun


Maria Zaetum menciumi seluruh tubuh lelaki itu


Tiba-tiba ia terhenti


ia jumpai luka-luka pada tubuh pahlawannya


di lambung kiri


di dua tapak tangan


di dua tapak kaki


Maria Zaetun pelan berkata:


“Aku tahu siapa kamu !”


 


(Malaikat penjaga Firdaus


wajahnya jahat dan dengki


dengan pedang yang menyala


tidak bias apa-apa


aku tak takut lagi


sepi dan duka telah sirna


sambil menari kumasuki taman firdaus


dan kumakan apel sepuasku


Maria Zaetun namaku


Pelacur dan pengantin adalah aku.             (Blues untuk Bonnie, 1972)


 


 


Orang yang menderita dan papa seperti Maria Zaetun harus mendapatkan perhatian. Di akhirat (Taman Firdaus) ia diterima sebagai pengantin. Mestinya, di dunia ia tidak disepak dan ditendang seperti anjing.


Taufiq Ismail yang dikenal sebagai penyair demonstrans menyadari benar keindonesiaan dirinya yang merasa bahwa timbul penyimpangan dalampemerintahan selama Rezim Orde Lama. Ia menulis berikut untuk menyadarkan keindonesiaan kita bersama sebagai bangsa yang tidak rela kebersamaan kita diinjak-injak oleh kekuasaan yang bersifat “tirani”. Puisinya yang berjudul “Berikan Indonesiaku Padaku” menunjukkan cinta bangsa dan tanah air dari Taufiq Ismail sebagai bangsa Indonesia.


Dalam Ayat-ayat Api Sapardi Djoko Damono menunjukkan caranya tersendiri dalam mengajak pembacanya untuk mengutuk para pembakar kota Jakarta dan Solo pada tahun 1998. Ia tidak rela bangsanya menderita, persatuan dan kesatuan tercerai berai oleh ulah jahil orang-orang yang angkara murka.



AYAT-AYAT API


sre itu akhirnya ia berubah juga


menjadi abu sepenuhnya


sbelum sempat menyadari


bhwa ada saat untuk istirahat


 


d antara gundukan-gundukan


yang sulit dipilah-pilahkan


n  ah, untuk apa pula


toh segera diterbangkan angina selagi hangat


 


di akhir isian panjang itu


tertera pertanyaan


“apa yang masih tersisa dari tubuhmu”


 


isi  saja “tak ada”


tapi, o, ya, mungkin kenangan


yang tentu juga sia-sia bertahan


 


waktu upacara hamper usai kau tak ingat


bahwa kuburan di kampong sudah penuh


 


mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa


adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami.


(1998)


 


 


Dalam pembahasan tentang multikulturalisme di depab telah dinyatakan bahwa ada aneka ragam perbedaan yang harus ditoleransi. Banyak penyair yang memiliki solidaritas kuat terhadap para penderita, mengutuk keraskorupsi karena mengangakan jurang yang ada antara si miskin dan si kaya, dan juga saling pemahaman antara perbedaan desa kota, Jawa luar Jawa, beda agama, dan segala jenis perbedaan yang ada. Dalam perkembangannya, puisi Indonesia telah memberikan sumbangannya bagi pembinaan multikulturalisme  untuk para pembacanya.




  1. 2. Prosa Fiksi


Penggambaran secara jujur adapt istiadat dan budaya etnis tertentu oleh para pengarang akan menciptakan saling pengertian budaya denganpembacanya di seluruh Indonesia. Roman, novel, atau cerpen menjadi duta bagi pengarang untuk menyatakan gagasannya yang luhur baik di kotanya, kampungnya, desanya, atau di daerahnya dengan harapan pembaca mengetahui budaya, adapt istiadat, dan situasi sosiologis masyarakat setempat dengan kekurangan dan kelebihannya. Itulah benang pengingat budaya antara etnis satu dengan etnis yang   lain di Indonesia.


Roman-roman pada Periode Balai Pustaka pada hakikatnya didominasi oleh suasana budaya, adapt, dan suasana sosiologis masyarakat Minangkabau yang matrilineal. Namun di samping itu, sebenarnya dalam suasana masyarakat priyayi, sama saja antara  priyayi Jawa dan priyayi Minangkabau. Keluarga Sitti Nurbaya dan Syamsulbachri pada hakikatnya adalah keluarga priyayi Minangkabau. Perhatikan kendaraan, cara berpakaian, dan gaya hidupnya, pada hakikatnya adalah gaya hidup priyayi Belanda (Barat). Namun demikian, dalam menentukan adapt istiadat makan, rumah, tatacara perkawinan, upacara adapt, dan cara penghormatan kepada orang tua adalah khas Minangkabau. Roman-roman itu dapat dijadikan cermin budaya Minang yang perlu dipahami oleh generasi muda Minang sendiri, dan juga oleh etnis lain sehingga memiliki pengenalan, apresiasi, dan bertoleransi terhadap adapt dan budaya mereka.


Pada Periode Balai Pustaka hanya ada sedikit pengarang roman dari Jawa, antara lain Sutomo Jauhar Arifin. Jika ada persamaan problem tentang kawin paksa dapat dipahami  jika ada persamaan juga siapa yang memaksa. Di Jawa yang memaksa adalah keluarga dengan dasar priyayi yang berpedoman bobot, bibit, dan bebet yang pada hakikatnya sifat kepriyayaian Jawa itu sama dengan ninik mamak di Minangkabau. Mungkin, lebih lanjut muaranya juga sama dengan problem masa kini, yaitu masalah harta benda atau kekayaan. Pembaca dari etnis Jawa dan Minang tentunya memiliki cara pandang yang dapat saling dijadikan materi diskusi sehingga menciptakan saling pengertian, penghargaan, dan toleransi.


Roman pembaharu di periode Balai Pustaka seperti Salah Asuhan, dalam Periode Pujangga Baru seperti Belenggu, dalam Periode Angkatan 45 seperti Atheis dapat dikatakan sebagai roman-roman yang tidak lagi memiliki unsure kedaerahan, namun sudah lebih bersifat universal. Para pengarangnya sudah mengalami hidup modern dan menghayati problem-problem kontemporer keidupan etnisnya pada masa itu. Kehidupan “lupa daratan” dan “kebarat-baratan” seperti Hanafi dapat dialami oleh etnis mana pun juga ada waktu itu. Juga manusia “sok intelek dan sok aktivis” yang merasa merekalah yang paling sukses kiranya dapat dialami etnis mana pun. Begitu juga tokoh religius yang “sok baik” dan berusaha mengentaskan temannya dari jurang atheisme seperti Hasan ada di mana-mana. Kebanyakan, bukan dirinya yang menang, namun dirinya yang ikut terbawa gelombang penyimpangan itu. Yang sangat penting ialah bahwa pembaca memahami dan menyadari, serta mau mengerti adanya manusia-manusia seperti itu dan harus kita sikapi seperti adanya.


Pembaca alim kebanyakan tidak senang kepada prosawan-prosawan seperti Jenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, dan Fira Basuki karena pemikiran-pemikirannya tentang hubungan seksualitas yang dipandang “terlalu maju”. Mereka mencoba merenungkan eksistensi wanita menurut perspektif berpikirnya sebagai wanita cosmopolitan yang mengalami kehidupan manusia modern yang sangat beraneka ragam. Kehidupan yang direnungkan belum tentu kehidupannya sendiri, namun bias jadi kehidupan tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat modern yang ingin disampaikan jeritan atau pikirannya itu. Karena sangat geramnya kepada novel-novel mereka bertiga ini, sampai-sampai ada pakar sastra yang menyebut novel mereka adalah novel selangkangan atau novel perlendiran. Padahal dalam novel kita berbicara tidak hanya fisik, namun juga batin manusia, kemungkinan-kemungkinan yang diberikan, pemikiran tentang pembaharuan yang diberikan, dan jalan keluar terhadap keruwetan hidup menghadapi perbedaan perlakuan antarapria dengan wanita, dan sebagainya.


Abidah el Kaliqi dan Andre Hirata boleh dikatakan mampu menghentikan laju diskusi perlendiran dalam novel itu. Apa yang dikemukakan oleh Abidah dalam Perempuan Berkalung Sorban adalah alternatif pemikiran tentang pembaharuan di kalangan pondok pesantren tradisional yang  diobservasinya di daerah Magelang. Namun, mungkin apa yang dipandang wajar oleh Abidah, oleh tokoh-tokoh setempat yang diobservasi bernada berlebihan. Begitu juga kepahlawanan bocah-bocah dari Pulau Belitong yang digambarkan oleh Andre Hirata kiranya dapat disebut berlebihan oleh tokoh di luar Belitong, namun oleh suku bangsa  Melayu Belitong mungkin merupakan hal yang wajar saja. Namun kedua pengarang yang bukunya sangat laris ini telah menyajikan dunia yang beda melalui karya sastra ke depan khasanah pembaca Indonesia yang kemudian akan mengapresiasi gagasannya sebagai bekal multikulturalisme (meskipun apa yang dikemukakan Abidah pernah ditulis oleh Jamil Suherman dalam Umi Kalsum).


Masih dapat dikemukakan contoh-contoh lain yang akan mendukung gagasan yang menyatakan bahwa prosa fiksi dapat menyebarluaskan pemahaman dan penghargaan antar etnis, agama, budaya, kebiasaan, perbedaan status social, perbedaan gender, dan perbedaan bahasa kea rah tolerasni dan saling menghargai dalam kebhinekaan yang bersatu.


Karya dari Manado (Raumanen), Kalimantan (Upacara oleh Korie Layun Rampan), Sulawesi Selatan (Pembayaran oleh Sinansari Ecip), Bali (Tarian Bumi oleh Oka Rusmini), Nusa Tenggara Timur (Sang Guru karya Gerson Poyk), Kalimantan (Tuyet karya Bur Rasuanto), Jawa Tengah (Umar Kayam dan Arswendo Atmowiloto yang menunjukkan masyarakat priyayi; Ahmad Tohari menunjukkan masyarakat santri; Kunto Wijoyo dan Muhammad Diponegoro menunjukkan kelompok masyarakat sastri kota). Karya pengarang dari Jawa itu, misalnya: Para Priyayi, Canting, Satinah dan Wasripin, Ronggeng Dukuh Paruk, dan Mantra Pejinak Ular.Pengarang dari Jawa Barat (Sunda) antara lain: Ramadhan K.H. dengan karyanya Royan Revolusi; dari Irian (Papua) antara lain Dewi Linggarjati (karyanya Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani), Ircham Mahfoedz (karyanya Ratu Lembah Baliem), Don Richardson (karyanya Anak Perdamaian).




  1. 3. Drama


Teks drama yang ada dalam khasanan sastra Indonesia berupa dialog. Jika dalam prosa fiksi dialog hanya selingan, maka  dalam drama, keseluruhan karya itu adalah berwujud dialog. Dalamdialog ini banyak kita jumpai istilah-istilah bahasa daerah yang sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam pementasannya pun, dramawan sering menggunakan logat berdialog dengan dialek bahasa daerahnya. Hal ini meskipun mempersulit penonton dari etnis lain, namun menambah apresiasi kepada drama dari etnis yang berbeda. Karya-karya Wisran Hadi (kental dengan warna Minang), Suyatna Anirun (kental dengan warna Sunda), karya Arifin C.Noer dan Riantiarno (kuat pengaruh tarling di Cirebon), karya Heru Kesowo Murti (sangat terpengaruh oleh dagelan Mataram dengan logat Jawa Tengah yang kental), Hanindawan (terpengaruh ketoprak dan dagelan dengan logat Jawa Tengah Solo), dan  Akhudiat (dengan logat Jawa Timur dan pengaruh kentrung yang cukup kental).


Rendra banyak membawa drama Yunani dan Eropa yang mengajak penonton merenungkankemanusiaan yang universal. Penderitaan dan perbedaan manusia hendaknya tidak menjadi halangan untuk kehidupan damai di muka bumi. Itulah kunci kebahagiaan. Meskipun tokoh yang digambarkan adalah raja-raja yang seharusnya bahagia, namun kenyataannya merekamenderita (Oedipus, Hamlet, Machbeth, Panembahan Reso, Pangeran Homburg). Tingginya kedudukan tidak menjamin kebahagiaan, sebaliknya orang yang berpangkat rendah mungkin memiliki banyak probabilitas untuk bahagia. Di samping karya-karya terjemahan, Rendra masih mencari alternative-alternatif untuk mengajak penonton atau pembaca menghargai martabat manusia tanpa embel-embel kebesarannya.


Drama-drama Indonesia (seperti halnya prosa fiksi) bercerita tentang manusia. Untuk memahami manusia, melalui drama akan dipotret manusia lengkap dengan watak dan tingkah lakunya. Pantas kita sampaikan dramawan-dramawan lain yang perlu disebutkan dalam khasanah sastra Indonesia yang turut memasyarakatkan multikulturalisme adalah: Putu Wijaya, Teguh Karya, Jim Lim, Azwar A.N., Usmar Ismail, Taufiq Ismail, Adi Kurdi, dan Ratna Sarumpaet .


D. Wasana Kata


Baik puisi, prosa fiksi, dan drama menuebarkan gagasan multikulturalisme ke siding masyarakat pembaca atau penonton. Namun, penyebarluasan  itu harus dibantu dengan penayangan di televisi atau media massa yang lain. Demikian juga, pendidikan di sekolah perlu menggalakkan apresiasi sastra dalam kaitannya dengan multikulturalisme.


Perlu dicetak dan disebarluaskan buku-buku puisi, prosa fiksi, dan drama yang ditulis oleh berbagai etnis yang ada, berbagai profesi, berbagai tema tentang kesadaran berbangsa dalamkemajemukan, sehingga cita-cita kita tidak kandas oleh perpecahan bangsa.


Guru bahasa Indonesia (yang sekaligus guru sastra) memiliki tugas strategis untuk menyebarluaskan gagasan multikulturalisme melalui puisi, prosa fiksi, dan drama. Sebagai akhir kata perlu saya jelaskan kepada Bagian Keuangan Pascasarjana yang menyatakan bahwa dramawan dalam kehidupan sehari-hari suka berdrama-dramaan. Itu tidak benar. Para dramawan hanya berpura-pura di atas panggung, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah orang yang apa adanya dan berani menyatakan kebenaran.


 


 


DAFTAR PUSTAKA ACUAN



Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultualisme. Yogyakarta: Pilar media.


Asyumardi Asra. 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jogjakarta: Kanisius


 


Dewi Linggardani. 2007. Sali. Yogyakarta: Kunci Ilmu.


 


Don Richardson. 1974. Anak Perdamaian. Bandung: Kalam Hidup.


 


Herman J.Waluyo. 2007. Pengkajian Puisi. Salatiga: Widyasari.


 


_______________. 2008. Pengkajian Prosa Fiksi. Salatiga: Widyasari.


 


_______________. 2007. Drama dan Pengajarannya. Surakarta: UNS-Press.


 


Ircham Mahfoedz. 2002.Ratu Lembah Baliem.Yogyakarta: Gita Nagari.


 


Modood, Tariq. 2009. Multiculturalism. http://www.answer.com/topic/multiculturalism. diunduh 13 Desember 2009.


 


Sapardi Djoko Damono. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus.


OLEH : HERMAN J.WALUYO


 



 


 


 


 


 


 


 




 




 

Artikel Terkait

2 comments:

Terimakasih telah memberikan komentar di web ini. Semoga membantu dan bermanfaat.