Tuesday, June 1, 2010

Politisasi Pendidikan

Politisasi Pendidikan


Senyatanya, terminologi politisasi pendidikan memiliki banyak arti dan pengertian. Namun dalam tulisan ini, yang dimaksud adalah menguasai aneka jabatan di lingkungan Departemen Pendidikan oleh partai politik sehingga kebijakan pendidikan yang diambil berpotensi dibumbui dengan kepentingan partai politik tertentu.


Terminologi politisasi pendidikan perlu diaktualisasi megingat saat ini ada upaya memperluas kiprah para politisi dalam jabatan eksekutif pada berbagai departemen dan kementerian pemerintah. Tegasnya, jabatan eselon satu seperti direktur jenderal (Dirjen), sekretaris jenderal (Sekjen), inspektur jenderal (Irjen), dsb, diusahakan untuk menjadi jabatan politik; yaitu suatu jabatan yang diisi oleh orang-orang politik.


Beberapa politisi sekarang ini sedang mengupayakan agar eselon satu dapat diformalkan menjadi jabatan politik melalui perubahan UU No.43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.


Departemen Pendidikan
Upaya memformalkan eselon satu menjadi jabatan politik tentu berlaku untuk semua departemen, tidak terkecuali Departemen Pendidikan. Itu berarti para pemimpin Departemen Pendidikan secara langsung akan dikuasai para politisi atau orang-orang politik yang tidak ada jaminan menguasai tugas-tugas keeksekutifannya.


Dan ketika itu sudah terjadi, itu berarti, setidaknya, enam pejabat eselon satu diisi oleh orang-orang politik; yaitu jabatan direktur jenderal manajemen pendidikan dasar dan menengah (Mandikdasmen), direktur jenderal pendidikan tinggi (Dikti), direktur jenderal pendidikan formal dan informal (PNFI), direktur jenderal peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan (PMPTK), sekretaris jenderal Depdiknas, dan inspektur jenderal Depdiknas. Belum lagi, menterinya juga orang politik.


Apabila di antara menteri, Dirjen, Sekjen, dan Irjen tersebut -meskipun orang politik- memiliki kualifikasi dalam memimpin departemen serta kapabilitas dalam bekerja, kiranya tidak banyak menimbulkan masalah. Tetapi, kalau yang mengisi jabatan tersebut adalah orang-orang yang tidak berkualifikasi dan tidak memiliki kapabilitas yang memadai, rusaklah bangunan pendidikan yang dengan susah payah telah kita susun selama bertahun-tahun.


Ilustrasi konkretnya: seorang Dirjen Mandiknasmen bisa memberlakukan kurikulum yang dianggap baik secara politis meskipun tidak baik secara akademis. Melalui kurikulum tersebut, anak didik secara sadar atau tidak sadar bisa diajarkan doktrin-doktrin yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan partai politiknya.


Dirjen Dikti pun demikian. Dengan peraturan yang diciptakan, bukan tidak mungkin para dosen dan mahasiswa yang mempunyai latar belakang politik sama dengan dirinya akan mendapatkan lebih banyak kemudahan dibandingkan dengan dosen dan mahasiswa lain pada umumnya.


Bagaimana dengan Dirjen PMPTK yang ”menguasai” guru sekolah di Indonesia? Sama saja! Dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan yang menggiurkan, maka akan banyak guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK yang dapat ”diarahkan” menuju kepentingan politik tertentu. Pendidikan adalah guru. Artinya, kalau guru dapat dikuasai, itu sama saja dengan seseorang tersebut telah menguasai pendidikan di negeri ini.


Hal-hal masuk akal seperti itulah yang sangat berpotensi merusak bangunan pendidikan di negeri ini.


Perang Kepentingan
Seandainya pejabat eselon satu adalah orang-orang politik dari partai yang sama dan masih bekerja kompak pun sangat berpotensi merusak bangunan pendidikan nasional. Apalagi kalau para pejabat tersebut berasal dari partai yang berbeda, apalagi tidak kompak.


Ingat, sifat paternalisme rakyat Indonesia relatif sangat tinggi sampai sekarang ini. Artinya, afiliasi politis mereka cenderung ”mengekor” pemimpinnya. Hal ini juga akan terjadi di lingkungan Departemen Pendidikan meski ada aturan seorang PNS tidak boleh bermain politik praktis.


Bayangkan saja; kalau pejabat di Departemen Pendidikan nanti berasal dari partai politik yang berbeda, maka para staf dan karyawan akan terpecah belah ke berbagai kelompok dengan afiliasi politik yang berbeda pula. Perbedaan itu bisa berimplikasi terhadap pemberian layanan yang berbeda kepada masyarakat; yang dalam hal ini kepada siswa, guru, mahasiswa, dosen, dan insan pendidikan yang lainnya.


Di lingkungan Departemen Pendidikan bisa terjadi perang kepentingan yang dikobarkan partai pemegang kekuasaan nanti. Semua itu tentu tidak fair dan jauh dari profesional sebagaimana yang dituntut dalam sistem manajemen modern untuk memajukan pendidikan nasional. Para pejabat tidak fokus menjalankan tugas keeksekutifannya, yang dalam hal ini adalah memajukan pendidikan nasional. Tetapi, mereka lebih berkonsentrasi memajukan partai melalui unit departemen yang dipimpinnya.


Bisa jadi, para pejabat Departemen Pendidikan nanti lebih loyal kepada pimpinan partai daripada atasan eksekutifnya, dalam hal ini menteri dan presiden. Hal itu sudah tentu sangat menyedihkan kita karena berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat antarpejabat yang ujung-ujungnya akan memperlemah kinerja pendidikan nasional.


Bahwa di dalam koalisi antarpartai dilakukan pembagian kekuasaan (power sharing), kiranya, itu boleh saja. Namun, kalau jabatan eselon satu, khususnya di lingkungan Departemen Pendidikan, dijadikan jabatan politis dan dibagi-bagi ke partai, kiranya, itu sangat berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia.


Kita tidak memerlukan politisasi pendidikan yang seperti itu. Sungguh, itu sangat berbahaya! (Sumber: Jawa Pos, 22 Juli 2009)

Artikel Terkait

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah memberikan komentar di web ini. Semoga membantu dan bermanfaat.